kotabontang.net - Desakan agar Presiden Joko Widodo berpikir ulang mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Kepolisian RI masih terus bergulir. Pasca-ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi, Budi dianggap tak layak dicalonkan sebagai "Trunojoyo 1".
Penetapan tersangka Budi Gunawan pun menimbulkan dua asumsi di publik. Pertama, Jokowi dianggap sengaja membiarkan KPK menjerat Budi karena sebenarnya dia tidak "sreg" terhadap Budi Gunawan. Kedua, Jokowi blunder dengan mencalonkan Budi yang disebut-sebut berpotensi terjerat kasus korupsi.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai, asumsi kedua jauh lebih masuk logika. Menurut dia, segala keputusan adalah tanggung jawab presiden.
"Jadi, mau ada genderuwo, tekanan, beban, bahkan ditodong senjata pun, dia harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang enggak, mana yang perlu dan mana yang tidak perlu," ujar Haris di Sekretariat Kontras di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/1/2015).
"Saya kira enggak masuk logika tuh dengan argumentasi-argumentasi bahwa dia menitip tangan nempeleng orang," lanjut Haris.
Haris menduga, Presiden memang menghendaki Budi menjadi kepala Polri. Ia menilai, mekanisme pencalonan Budi yang dianggapnya tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bagian dari upaya memuluskan jalan Budi Gunawan.
"Makanya, Presiden sekadar memanggil Kompolnas, bukannya Sutarman. Hanya minta saran Kompolnas, bukan melalui Sutarman," ujar Haris.
Jika mekanisme pencalonan kepala Polri sesuai prosedur, yakni melalui pertimbangan saran Kapolri definitif, KPK, PPATK, dan Direktorat Jenderal Pajak, maka Haris yakin nama Budi Gunawan tidak akan lolos seleksi.
"Kalau mekanismenya kayak zaman pemilihan menteri, pasti ada red notice. Jadi, lika-likunya dimudahkan. Ini seperti operasi untuk mengamankan BG (Budi Gunawan) untuk jadi kepala Polri," ujar Haris.
Pasca-penetapan terhadap Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, Kontras meminta Presiden segera mengganti pilihannya. Presiden Jokowi juga diminta mengungkapkan ke publik bahwa proses pencalonan selanjutnya dilakukan secara transparan.