-->

Donderdag 23 April 2015

Peluang Bisnis : Memplintir Kaleng Bekas Jadi Harimau, Ayam Dan Burung Merak

kotabontang.net - Seekor harimau terlihat sedang berjalan pelan seolang mengendap-endap di depan rumah penduduk. Ekspresinya seperti mengintai mangsa dengan mata melotot. Mulutnya yang terbuka dan memperlihatkan taringnya yang tajam. Anehnya sepasang suami istri yang sedang di teras rumah justru santai saja.

Mereka tidak terganggu karena memang harimau yang terlihat seperti ukuran asli itu hanyalah replika. Tapi itu bukan sembarang pajangan. Yang membuat menarik, harimau coklat itu ternyata dibuat dari kaleng bekas roti. Tak percaya?

Kaleng bekas mungkin hanya sekedar benda tak berguna bagi sebagian orang. Tapi daripada dibuang, serahkan saja kaleng itu ke tangan Kusnodin. Kusnodin piawai mengubah kaleng berbahan lembaran baja itu menjadi karya artistik yang sangat mirip makhluk hidup. Nilainya pun terdongkrak menjadi puluhan juta rupiah.

“Misalnya harimau segede aslinya itu, harganya Rp 35 juta,” kata dia kepada Bisnis.

Dia menyelesaikan replika harimau itu dalam enam minggu. Waktu yang cukup panjang memang karena semua proses pengerjaan tidak dilakukan secara massal tapi pakai tangan.

Kusnodin bisa dibilang merupakan salah satu pemain lama dalam bisnis kerajinan kaleng bekas. Usaha itu diawalinya secara tidak sengaja pada 1987. Tatkala dia masih berprofesi sebagai sopir angkot, ayah dua anak ini melihat kotak peralatan bengkelnya bolong karena dikerat tikus.

Melihat ada kaleng biskuit, Kusnodin memotongnya dan dipakai untuk menutup lubang tersebut. Sisa-sisa potongan itu awalnya hendak dia buang.

“Tapi karena sisa guntingannya kecil-kecil saya khawtir nanti ada orang yang luka. Jadinya saya pakai untuk memperbaiki hiasan burung merak yang ada di rumah dengan cara ditempel,” katanya.

Tanpa diduga, replika burung yang baru dia perbaiki ditaksir salah satu kenalannya. Melihat ada peluang usaha, pria 54 tahun ini mulai tertarik membuat kerajinan dari kaleng bekas. Di sela-sela waktu istirahatnya sebagai supir, dia bersemangat memotong-motong kaleng bekas.

“Jadi sambil ngetem, kerjaan saya itu memotong kaleng dan memplintirnya,” kata dia.

Kini Kusnodin tak lagi menyambi jadi supir. Dia fokus membesarkan usahanya di bawah bendera Karya Baru.

Dalam berkreasi, dia kebanyakan memakai kaleng bekas biskuit atau tiner. Kaleng yang sudah dibersihkan itu akan digunting menjadi batangan selebar 3 cm dengan panjang 20 cm. Potongan-potongannya kemudian dipelintir satu per satu. Itulah yang akan digunakan menjadi bulu-bulu untuk membuat replika hewan.

Dia dapat membentuk aneka kreasi pajangan unik seperti ayam, elang, burung merak, burung cendrawasih, anjing, hingga hewan ukuran besar seperti harimau, singa dan kuda dari kaleng-kaleng bekas.

Karyanya tak hanya diminati oleh pasar dalam negeri tapi juga sudah dari manca negara. Dia pernah mengirim ke klien di Jepang. Namun karena saat itu sempat ada masalah yang timbul akibat pengiriman sehingga barangnya ditolak, Kusnodin jera mengekspor.

Dia lebih memilih memasarkan lewat para pengusaha. Eksportir tersebut yang akan membeli kerajinannya secara cash dan mereka akan mengekspornya ke berbagai negara.

Dia juga menerima pesanan dari perusahaan yang meminta dibuatkan souvernir. Salah satu kliennya adalah bank besar. Di luar itu, pembeli karyanya yang paling banyak adalah galeri-galeri kesenian.

Kusnodin dibantu oleh tiga orang karyawan untuk memotong dan memplintir kaleng. Jika pesanan sedang banyak, dia memberdayakan ibu-ibu di sekitar rumahnya untuk ikut dalam proses produksi. Dalam seminggu dia bisa membuat minimal 10 buah replika ayam ukuran sekitar 20 cm.

Pajangan ayam paling kecil dibanderol dengan harga Rp125 ribu. Harganya makin mahal jika ukuran ukuran dan kerumitan pembuatan makin tinggi.

Dalam sebulan dia meraup omzet hingga Rp40 juta. Meski begitu menurutnya keuntungan yang diperoleh tidak terlalu besar. “Hanya sekitar Rp7 juta per bulan. Karena ongkos produksinya mahal,” kata dia.

Memang bahan baku usahanya terbilang murah di mana hanya sekitar Rp1.000 per kilo. Namun tak semua kaleng dapat dipakai untuk membuat karya. Seperti membuat merak, dia harus memilah-milah warna kaleng sesuai dengan yang diinginkan.

Tantangan lainnya, kata dia, adalah naiknya harga upah tenaga kerja yang dia libatkan untuk memelintir dan menggunting kaleng.

“Sekarang harga-harga jadi lebih mahal. Biasanya bisa sekitar Rp3.000 untuk satu batang (kaleng yang sudah diplintir),” tuturnya.

-- bisnis.com--

Previous
Next Post »