kotabontang.net - Ketuhanan kembali “diserang” oleh musuh lamanya, ilmu pengetahuan. Richard Dawkins, seorang profesor emeritus di New College Oxford, mengklaim sejumlah peneliti mengaku sudah menemukan “bukti” yang mementahkan adanya sosok Tuhan di alam semesta..
Teorinya berbasis thermodynamics. Richard Dawkins terkenal pertama kali lewat bukunya The Selfish Gene yang mempopulerkan teori evolusi yang berpusat pada gen. Ia merupakan saintis di garda terdepan pembela teori evolusi Darwin dan dengan terbuka mengaku sebagai ateis.
Jasanya yang paling besar adalah menjelaskan dengan rinci berbagai konsep evolusi sehingga masyarakat awam dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Pada tahun 2006, ia menulis The God Delusion yang pada pokoknya mengatakan pencipta supranatural yang oleh agama dipercaya sebagai pencipta dunia ini, sama sekali tidak ada dan iman agama adalah delusi.
Versi bahasa Inggris buku itu, per Januari 2010, telah terjual 20 juta eksemplar dan telah diterjemahkan ke 31 bahasa. Kunci efektivitas tulisannya adalah ketrampilannya beranalogi dan bermain metafora (‘Selfish Gene’ adalah salah satu yang mungkin paling jitu sekaligus memancing beragam penafsiran).
Merek dagangnya yang lain adalah tonjokan-tonjokan kerasnya terhadap para lawan pemikirannya--dalam hal yang menyangkut teori evolusi sendiri maupun isu-isu yang lebih umum, seperti agama, etika, dan budaya. Tak meleset jika ada yang menjulukinya "tukang pukul Darwin" (Darwin's bully). Agama, di samping gerakan New Age, termasuk yang paling sering menjadi sasaran tonjokan kerasnya, karena keduanya menawarkan suatu sistem pengetahuan yang, dalam pandangannya, bertentangan dengan sains--dengan kesetiaan terhadap evidence.
Bagi Dawkins, agama adalah semacam virus, yang tak berbeda jauh dari virus komputer, atau virus penyakit dari segi perilakunya. Dawkins mengembangkan analogi ini dengan amat serius, dan berujung pada kesimpulan betapa berbahayanya menanamkan virus ini pada anak-anak yang belum memiliki pertahanan diri yang baik.
Dari sisi lain, kepercayaan kepada Tuhan juga tak mendapatkan tempat dalam dunia di mana berlangsung evolusi melalui seleksi alam; evolusi sendiri adalah "fakta yang mesti diterima sama dengan kita menerima fakta bahwa bumi mengelili matahari", tegasnya. Alam semesta dan seluruh kehidupan di dalamnya berjalan tanpa tujuan.
Kemunculan spesies-spesies yang makin kompleks bukanlah tanda adanya "kemajuan" menuju tujuan itu, tapi semuanya akibat kebetulan-kebetulan. Jika ada kasih sayang di alam, maka itu hanyalah akibat sampingan dari persaingan hidup yang berdarah-darah. Namun ini tak berarti bahwa alam itu kejam.
"Alam tidaklah baik dan tidak kejam, tapi semata-mata tak acuh," ujarnya. Ketakacuhan tanpa belas kasihan. Bagi Dawkins, ini tak lantas berarti nilai-nilai moralitas menjadi tidak bermakna. Tugas manusia adalah melawan tirani alam. Pada titik ini agama seringkali difungsikan untuk memberi makna bagi kehidupan yang sesungguhnya tak bermakna. Juga, untuk menghangatkan alam semesta yang dingin, yang tak peduli pada nasib segala makhluk hidup.
"Tapi kami hanya selangkah lebih ateis," katanya, dengan memasukkan Tuhan sebagai makhluk khayalan juga. Dan semua makhluk khayalan, tanpa kecuali, harus ditolak karena tak ada fakta yang bisa mendukungnya. Penolakan ini adalah cermin kedewasaan berpikir. Apalagi, segala kompleksitas alam semesta, yang di masa lalu dijelaskan dengan mengatakan "Tuhanlah penciptanya", kini telah dapat dijelaskan dengan baik oleh teori evolusi.
Lawan Dawkins di sini bukan hanya kaum kreasionis yang menolak evolusi, tapi juga kaum evolusionis teistik, yang membayangkan suatu konsep Tuhan yang masih punya tempat penting dalam alam semesta yang berevolusi. Persoalannya, kata Dawkins, "Tuhan" para ilmuwan itu bukan lagi Tuhan yang menjadi objek penyembahan dalam agama-agama; bukan Tuhan yang dimintai pertolongan dan mengabulkan doa-doa manusia. Karena itulah ia menolak mentah-mentah klaim yang belakangan populer bahwa "sains dan agama kini mengalami konvergensi".
Sains dan agama yang hidup dalam harmoni adalah sains dan agama yang telah didefinisikan ulang dengan semena-mena. Jika prinsip-prinsip fundamental fisika diidentifikasikan dengan "Tuhan", jika Albert Einstein, Stephen Hawking, atau Paul Davies disebut sebagai ilmuwan yang religius semata-mata karena mereka mengekspresikan ketakjubannya akan keindahan dan keteraturan alam semesta, "maka saya pun mesti digolongkan sebagai religius," ujarnya.
Tapi lalu bagaimana kita menyebut agama orang-orang yang berlutut di depan Salib atau yang bersujud di atas sajadah? Kalau definisi agama terlalu luas, semua orang bisa disebut beragama. Tapi apa salahnya dengan ini? Masalahnya, Dawkins punya kepentingan lain untuk menyudutkan agama. Ia melihat agama, sebagaimana dipahami secara umum dan dipeluk begitu banyak umat manusia, telah terbukti berhasil memberi motivasi besar kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan tak terkendali.
"Saya memusuhi 'agama resmi' sebagaimana saya memusuhi 'agama liar," katanya. Karenanya ia juga mengkritik dengan amat keras kecenderungan New Age yang berambisi menghadirkan kembali cara tradisional pencerahan jiwa manusia yang menurut pendukungnya telah ditumpulkan sains modern. Bagi Dawkins, upaya menghidupkan "kearifan lama" ini seringkali tak jauh dari sekadar keinginan naif menghidupkan takhayul masa lalu di zaman modern.
Pendeknya, semua kembali ke sikap dasarnya: menolak segala kepercayaan yang tak memiliki dasar faktual yang kuat. Dalam suatu kesempatan Dawkins pernah menyebut orang beragama sebagai "buta, bodoh, dan tertipu khayalannya sendiri". Terlepas dari gayanya yang amat merendahkan ketika berbicara tentang agama dan orang beragama, nyatanya kaum agamawan cukup menganggap serius tantangan Dawkins.